CERPEN



Demi Sebuah Pengabdian
Oleh : Anwar Musadad, S.Pd

Pagi itu terasa dingin sekali, kucoba untuk bangun membuka mata, rasanya begitu malas. Kutatap anak dan istri yang terlelap tidur, sesekali anakku menggeliatkan badannya hampir ke pinggir kasur itu. Tiba-tiba suara rintik hujan terdengar dari atas atap seng. Hujan itu semakin membuat dingin. Kamar itu nampak gelap hanya ada lampu cas yang terlihat mulai meredup. Kusasar tanganku untuk mencari hape, lalu kupijit keypad dalam remang-remang ruangan berukuran dua kali tiga meter, sepertinya jari ini sudah terbiasa, terlihat jam di hape menunjukkan pukul 03.40 subuh.
Aku mencoba keluar dari kelambu yang sudah kusam dimakan waktu, kelambu jatah dari pemerintah untuk program pencegahan malaria dan deman berdarah yang diterimaku satu setengah tahun yang lalu. Kelambu ini sedikit membantu kami di malam hari untuk tidur terlelap, bebas dari gigitan nyamuk-nyamuk nakal yang haus akan darah. Aku keluar dari kelambu pelan-pelan, agar tidak mengganggu anakku yang sedang tertidur lelap. Di luar kelambu hawa dingin menusuk kulitku, lalu kuhidupkan lampu di hape yang sudah mulai kusam ini. Maklum saja hape butut ini yang selalu menemaniku kemana saja aku pergi, ya hape murah namun banyak manfaatnya bagiku. Kusorotkan lampu ke arah pintu kamar, lalu aku berjalan dengan pelan menuju  pintu kamar yang terbuat dari triplek seadanya. Suara decitan pintu terdengar agak nyaring, maklum saja engselnya sudah sepuh dimakan karat. Kuambil gayung, lalu kubasuh muka, terasa dingin di pori-pori wajah. Saking dinginnya aku batalkan untuk mandi subuh itu. Aku ambil air wudlu untuk mengawali sholat subuh di pagi buta itu. Kupanjatkan do’a kepada sang khalik yang maha besar,yang maha pengasih yang tak pilih kasih, serta maha penyayang, agar senantiasa menjaga kami, memberi kami kesehatan, menuntun kami ke arah jalan yang lurus. Itulah do’a yang selalu dan selalu kupanjatkan setiap aku sholat. Aku percaya Alloh akan mengabulkannya jika kita sungguh-sungguh untuk memohonnya.
 “Bu…..Bapak harus pagi-pagi berangkatnya biar nggak terlambat ke sekolah” jelasku. Lalu istriku mengampiriku. “Nanti nggak usah ngebut pak” Pesan istri, mengingatkanku. Kadang aku ngebut di jalan, rasanya ingin cepat sampai tujuan. Lalu istriku pergi ke dapur membawakan segelas teh panas dan satu butir telur rebus. Itulah menu sarapan pagi butaku sebelum pergi ke tempat aku mengajar. Kuteguk teh panas itu yang terasa hangat ditenggorokan, lalu kusantap telur rebus itu dengan sekali telan saja.
Seperti biasanya sebelum pergi aku cium kening anakku yang terbaring di kasur. “de bapak pergi dulu ya, dede yang pinter. Oh iya nanti bapak kembali bawa pesanan dede. Bapak pergi dulu ya” pesanku sambil mencium keningnya yang aku akhiri dengan membaca surah al-ikhlas.
Kuturunkan kuda besi itu melewati tangga yang agak licin karena sebelumnya terkena gerimis. Kuhidupkan motor,lalu kuhampiri istri untuk bersalaman dan kukecup keningnya, lalu aku berdo’a agar di selamatkan selama diperjalanan nanti. “assalamualaikum” ucapku untuk mengakhiri perpisahan di pagi buta itu. Sepeda motor itu menembus rimbunnya hutan –hutan. Menapaki jalanan tanah yang agak licin karena sebelumnya hujan. Sesekali aku harus  pelan, karena disana-sini ada banyak lubang, belum lagi batu-batu yang berserakkan siap menghantam ban motor dikala aku lengah. Di depan terlihat samar-samar binatang malam melintas jalanan. Motor itu berbunyi nyaring tak kala menapaki jalanan menanjak, menderu memecah kesunyian. Melewati rerumpunan bambu dan sesekali melewati perkampungan penduduk yang masih asyik terlelap tidur. Melewati perkampungan harus ektra hati-hati, kadang sesekali ada saja binatang yang menyeberang jalan seenaknya. Kupelankan tarikan gas melewati perkampungan demi perkampungan. Tak satupun kujumpai kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Hanya adakalanya kutemui beberapa pohon yang tumbang menutupi badan jalan. yang akhirnya aku harus menepi dan perlahan-lahan. Kiloan meter jalan sudah kutempuh, akhirnya aku menapaki jalan yang beraspal mulus, kutancap kuda besi itu, sehingga melaju dengan kencangnya. Terang saja jalan ini mulus karena jalan ini adalah jalan utama yang menghubungkan kedua negara yaitu Indonesia dan Malaysia. Mungkin malu jika jalan ini rusak, jika dibanding dengan negara tetangga yang begitu mulus seluruh jalanannya. Jalanan ini terasa sepi di di jam sepagi ini, hanya ada beberapa truk yang kutemui selama perjalanan. Jalanan yang lengan kadang membuatku terlena yang berakibat aku sedikit lengah. Maklum saja kecepetan di jalan yang mulus ini motorku digeber 90 km perjam.
Akhirnya aku sampai juga di tempat dimana aku mengajar, rasa capek dan letih selama perjalanan hilang sudah ketika melihat anak-anak negeri menyapa dengan senyum yang penuh ketulusan. Ini sesuatu yang amat berharga dalam hidupku. Menjadi guru adalah sesuatu butuh ketulusan dan keikhlasan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ular Tanah yang sangat kecil