ARTIKEL : GURU DI ERA SERTIFIKASI
<![endif]-->
GURU DI ERA SERTIFIKASI
Sertifikasi
guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru. Adapun dasar hukum
tentang perlunya sertifikasi guru dinyatakan dalam pasal 8 UU Nomor 14 Tahun
2004 tentang guru dan dosen, bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan guna mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Bahwasannya sertifikat
pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru
sebagai tenaga profesional. Upaya
pemerintah untuk memberikan perhatian pada kesejahteraan guru idealnya disikapi
dengan penuh tanggung jawab oleh si guru itu sendiri. Perhatian pemerintah
terhadap kesejahteraan guru didasari oleh keinginan akan revitalisasi kualitas
pendidikan di Indonesia, diharapkan kualitas pendidikan Indonesia berbanding
lurus dengan peningkatan kesejahteraan pada guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan.
Euforia
kesejahteraan guru sebagai implikasi dari kucuran dana kesejahteraan guru atau
dengan sebutan tunjangan sertifikasi guru, membawa angin segar dalam perubahan
pola pikir (mindset) yang dari jaman oemar bakrie menjadi guru yang berdasi.
Tanpa ingin berburuk sangka (suudzon) kepada para guru dilapangan, ternyata
ditemukan adanya sedikit pergeseran budaya (culture) para guru yang
mudah-mudahan sifatnya hanya di permukaan, sebagai contoh jika dahulu
membicarakan masalah finansial menjadi hal yang tabu apalagi di area
publik akan tetapi sekarang topik finansial menjadi topik pokok untuk
dibicarakan dalam berbagai kesempatan dan situasi. Terlepas dari itu semua, sebagai pendidik
tentunya kita harus memiliki rasa tanggungjawab terhadap profesi yang kita
emban untuk bagaimana mengembalikan keluhuran profesi guru, guru kembali
menghayati landasan filosofis profesi yang disandangnya. Bahwa dia mempunyai
tanggung jawab untuk membentuk karakter anak bangsa yang lebih baik di masa
depan. Menjadi pendidik, pembimbing, dan pembina, oleh karena itu guru dituntut
untuk terus meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dirinya, menjadikan dirinya
seorang pembelajar seumur hidup dan tidak berhenti di satu titik apalagi
terjebak pada masalah finansial atau materi belaka.
Sejatinya
seorang pendidik dalam hal ini adalah guru harus mulai bersikap proporsional
dan tetap bijak dalam menyikapi wacana kesejahteraan ini. Mereka diharapkan
tetap mampu menjiwai profesinya dan tetap bisa berpegang teguh terhadap inti
dari pendidikan. Hal ini untuk mencegah para guru terjebak pada situasi keterasingan
dari profesinya. Ketika guru melulu berbicara tentang masalah Finansial belaka,
hanya akan membuat sang guru tercerabut dari identitas keguruannya. Ketika guru
terbuai dengan persoalan finansial maka dengan sendirinya guru tersebut sedang membukakan
pintu keterasingan bagi profesinya. Dimulai dengan perasaan bosan dan perasaan
bahwa menjadi guru hanya sebuah pekerjaan rutin yang tidak terlalu
membutuhkan pemikiran dan perlakuan lebih. Seorang guru idealnya memiliki waktu
yang sengaja diluangkan untuk berkontemplasi (bermuhasabah, berfikir lebih
lanjut dan dalam ) merefleksikan diri tentang kegiatan yang dia lakukan di
setiap harinya. Berkontemplasi tentang bagaimana proses Kegiatan Belajar
Mengajarnya (KBM) hari ini, berkontemplasi tentang bagaimana perkembangan si
Budi, Si Najwa, Si Aziz, dan peserta didik lainnya, berkontemplasi tentang apakah
matanya sudah cukup berbinar ketika menatap mata peserta didik, berkontemplasi tentang
apa dia sudah mampu memberikan energi positif kepada peserta didik dengan
sentuhannya, berkontemplasi tentang apa dia sudah mampu mengidentifikasi bahwa
si Ani adalah istimewa dengan kemampuan otak kirinya, Si Faruq istimewa dengan
kemampuan Agitasinya, Si Abdul istimewa dengan kemampuan fisiknya, dan apa
yang bisa guru lakukan untuk mengembangkan benih-benih para siswa yang tengah
dia genggam sehingga benih itu bukan hanya mampu tumbuh dan berbunga tapi
juga mampu berbuah lebat serta bermanfaat bagi lingkungannya.
Ketika
guru tersadar akan betapa berat beban
yang disandangnya, apakah bisa sang guru tetap melaju dengan kecepatan konstan,
apa bisa sang guru hanya berkeluh kesah ketika disetiap harinya dia
dituntut untuk mencurahkan sedikit waktunya untuk membuat sebuah rencana
pembelajaran yang efektif bagi peserta didiknya, apa bisa meluangkan waktunya
untuk berpikir ekstra tentang metode yang akan dipakai untuk memenuhi standar
kompetisi yang ingin dicapai. Dengan kesadaran tentang tanggung jawab profesi itu
apakah mungkin si Guru akan tetap berjibaku dengan obrolan-obrolan pasar
seputar gosip selebriti, gadget, fesyen, gaya hidup yang tak pernah putus tanpa
mampu mengkontekskannya dalam pendidikan dan pendidikan moral. Menjadi seorang guru
adalah menjadi individu yang paham akan konteks realitas hidup yang ada di
masyarakat dan menyajikannya secara edukatif kepada peserta didiknya. Sehingga
guru menjadi fasilitator yang mencetak lahirnya tunas-tunas bangsa yang
memiliki kematangan intelegensi, emosi, dan spiritual, sehingga apa yang
menjadi tujuan pendidikan nasional akan terwujud dengan sendirinya. Itulah
makna sebenarnya guru yang seyogyanya “digugu
dan ditiru” bukannya “wagu tur saru”.
Komentar
Posting Komentar